Sunaryo Broto
E-Mail: sbroto[aT]pupukkaltim.com
Sunaryo Broto adalah Karyawan Pupuk Kaltim yang menyukai sastra. Alamat di Jl. Aster 14 Kompleks PKT, Bontang. Pendidikannya S1 di Teknik Kimia UGM dan S2 di Magister Universitas Mulawarman. Email sbroto@pupukkaltim.com. Tulisan cerpen, artikel, puisi, catatan perjalanan, karya foto dimuat di Republika, Kaltim Post, Tribun Kaltim, Suara Kaltim, Majalah Karya Bangsa dll. Beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya, Biarkan Kami Bermain (Antologi Puisi), Hijrah (Antologi Puisi), Catatan Haji Sebuah Hati, Tentang Waktu (kumpulan puisi), Pertemuan di Kebun Raya (kumpulan cerpen), Catatan SDM dan Korporasi (kumpulan essay), Kepemimpinan Kotan Pasaman (Serial Knowledge Manajemen PKT). Karya puisi dan cerpennya dimuat dalam Buku Ensiklopedia Sastra Kaltim, Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia. Ketiga buku terakhir, editornya Korrie Layun Rampan. Namanya masuk dalam Buku Biografi Pengarang Kaltim terbitan Balai Bahasa Kaltim.Tahun 2012. Puisinya masuk dalam Buku Narasi Tembuni, kumpulan puisi terbaik Komunitas Sastra Indonesia.Aktif dalam Komunitas Sastra Studio Kata dan Club Buku 33 di Bontang.Daftar Buku
Jumlah buku:21. Menengok Jendela Dunia
Menengok Jendela Dunia berisi catatan perjalanan 13 karyawan Pupuk Kaltim yang telah bepergian di lima benua. Tulisan-tulisan tersebut mewakili perjalanan dinas, tugas belajar, rekreasi di sela dinas para karyawan, mereka masih sempat menengok dan menikmati indahnya dunia di sekitar penugasannya. Sebagian menggambarkan bagaimana perasaan seorang karyawan yang melihat dunia lain dan dapat menjejakkan kaki ke tanah kehidupan bangsa lain. Ada yang begitu detail menggambarkan suasana. Ada satu dua refrensi yang dikutip. Juga obrolan sepintas dengan masyarakat lokal. Semua bisa memperkaya bahan cerita. Para penulis dari berbagai generasi mengurai dan bercerita tentang pengalaman mereka dalam buku ini. Peristiwanya juga berbeda waktunya. Tentunya juga berbeda sudut pandangnya. Para penulis tersebut adalah : Prabowo, Mudjib Utomo, Wagiyo, Praharso, Wien Hartono, Ezrinal Azis, Supriyoto, Manik Priandani, Hanggara Patrianta, Sunaryo Broto, Muhammad Burmansyah, Mustanginah dan Awaliyah Noor Baroroh. Gaya penulisan bebas, sesuai gaya dan kebiasaan masing-masing makanya terkesan tulisan ini seperti gado-gado. Tak apa. Gado-gado kan enak juga he..he.. Tulisan berawal dari tempat terdekat yaitu Malaysia dan Singapura. Lalu merembet ke Laos, Vietnam, dan Kamboja. Menyeberang ke Nepal dan Thailand. Lalu ke negeri ras kuning, Jepang, Korea Selatan, Taipeh dan China. Menyeberang ke negeri Saudi Arabia, Bahrain dan Yordania. Benua terdekat Australia, terutama Sydney dan Pert. Menikmati negeri-negeri beriklim dingin Eropa. Di beberapa negara Paris, Itali, Skandinavia sampai negeri Dewa-Dewi,
Menengok Jendela Dunia berisi catatan perjalanan 13 karyawan Pupuk Kaltim yang telah bepergian di lima benua. Tulisan-tulisan tersebut mewakili perjalanan dinas, tugas belajar, rekreasi di sela dinas para karyawan, mereka masih sempat menengok dan menikmati indahnya dunia di sekitar penugasannya. Sebagian menggambarkan bagaimana perasaan seorang karyawan yang melihat dunia lain dan dapat menjejakkan kaki ke tanah kehidupan bangsa lain. Ada yang begitu detail menggambarkan suasana. Ada satu dua refrensi yang dikutip. Juga obrolan sepintas dengan masyarakat lokal. Semua bisa memperkaya bahan cerita. Para penulis dari berbagai generasi mengurai dan bercerita tentang pengalaman mereka dalam buku ini. Peristiwanya juga berbeda waktunya. Tentunya juga berbeda sudut pandangnya. Para penulis tersebut adalah : Prabowo, Mudjib Utomo, Wagiyo, Praharso, Wien Hartono, Ezrinal Azis, Supriyoto, Manik Priandani, Hanggara Patrianta, Sunaryo Broto, Muhammad Burmansyah, Mustanginah dan Awaliyah Noor Baroroh. Gaya penulisan bebas, sesuai gaya dan kebiasaan masing-masing makanya terkesan tulisan ini seperti gado-gado. Tak apa. Gado-gado kan enak juga he..he.. Tulisan berawal dari tempat terdekat yaitu Malaysia dan Singapura. Lalu merembet ke Laos, Vietnam, dan Kamboja. Menyeberang ke Nepal dan Thailand. Lalu ke negeri ras kuning, Jepang, Korea Selatan, Taipeh dan China. Menyeberang ke negeri Saudi Arabia, Bahrain dan Yordania. Benua terdekat Australia, terutama Sydney dan Pert. Menikmati negeri-negeri beriklim dingin Eropa. Di beberapa negara Paris, Itali, Skandinavia sampai negeri Dewa-Dewi,
2. Keringat Lelaki Tua, Kumpulan Cerpen
Kumpulan cerpen ini sebagian sudah dimuat di Harian Kaltim Post dan dikirim dalam berbagai even. Cerpen-cerpen ini ditulis pada tahun 2008 ke atas. Banyak refleksi kemanusiaan kita temukan dalam cerpen-cerpen ini. Di sinilah kelebihan cerpen-cerpen Sunaryo Broto. Meski cara berceritanya datar, tapi selalu saja ada titik-titik yang membuat kita sebagai pembaca merasa tersentuh dan tersentak. Sentuhan dan sentakan itu bisa berasal dari tampilnya beragam karakter manusia dan cerita yang mengelilinginya. Dalam “Pada Sebuah Buku, Pada Seorang Kawan”, misalnya, kita tersentuh oleh cerita nostalgia zaman menjadi mahasiswa dalam keadaan keterbatasan fasilitas dan finansial. Sentuhan itu dipertajam dengan hadirnya tokoh Joko yang sampai sekarang pun masih hidup dalam keterjepitan ekonomi. Cerpen “Doa Ibu”, kita bisa digoda untuk teringat pada ibu kita masing-masing dengan berbagai cerita nostalgia yang kita alami. Romantisme keluarga dengan menampilkan indahnya kehidupan “berselara masa lalu” ini juga terulang setidaknya dalam cerpen “Mudik Lebaran” dan “Keringat Lelaki Tua”. Di cerpen “Doa Ibu”, selain dibawa bernostalgia kita juga diajak berdiskusi tentang kearifan kultural, semisal pada kasus tokoh “Ibu” dan beberapa tokoh lain yang memegang teguh tradisi. Tokoh “Aku” sebagai wakil anak muda atau generasi modern yang tidak percaya pada mistisisme generasi lama ternyata tetap tak bisa lari darinya dan ketika ingin mendobrak ia mengalami kegagalan. Cerpen “Galeri Librari Nurseri” menampilkan kisah kehidupan orang tua yang bahagia dengan masa tuanya. Dari sini kita tergoda untuk gemas pada kehidupan kemanusiaan kita. Kenapa tidak semua bisa memiliki jalan hidup yang lurus-lurus seperti itu? Kenapa harus ada cerita sedih? Kenapa harus ada yang hidupnya dibayang-bayangi oleh was-was, ketegangan, dan pertikaian? “Bagaimana Rasanya Dicium Artis Setenar Desi Ratnasari?” dengan bahasa yang tidak langsung telah mengkritik fenomena lunturnya penghargaan keperempuanan. Para perempuan telah melucuti perhiasan yang secara sakral tersemat dalam dirinya dan melakukan desakralisasi. Tokoh “Anton” tak siap menerima kenyataan bahwa “Sri Lestari” yang dulu lugu itu kini terbiasa berciuman dengan lelaki. “Kurban Sapi” membuat kita terhenyak dan tersadar bahwa seringkali justru orang-orang dari kalangan bawah atau miskin lebih memiliki keikhlashan dalam bekerja untuk kemanusiaan dan ghirah dalam menjalankan ajaran agama. Perihal orang miskin dan terpinggirkan ini, dalam konteks diskusi yang berbeda, juga muncul dalam “Puisi Guru dan Sekolah Laut” dan “Cerita Sendu dari Marangkayu”. “Sepasang Sandal Tertinggal di Masjid Nan Dou Ya” sangat menarik. Beberapa hal menggelitik kita; tentang kesahajaan hidup, barang-barang mewah yang justru membelenggu pemiliknya, kejujuran manusia, serta keragaman budaya. Persoalan keragaman budaya juga sedikit tersinggung dalam “Pesan Rindu dari Kathmandu”. Cerpen ini juga menghadirkan tema romantik dan kita menjadi trenyuh menyaksikan ketegaran perempuan yang mengalami loneliness hidup sebagai janda di negeri orang. Dari luar dia tampak sebagai aktivis yang energik, tapi di sebalik itu adalah kesunyian dan getir.
Kumpulan cerpen ini sebagian sudah dimuat di Harian Kaltim Post dan dikirim dalam berbagai even. Cerpen-cerpen ini ditulis pada tahun 2008 ke atas. Banyak refleksi kemanusiaan kita temukan dalam cerpen-cerpen ini. Di sinilah kelebihan cerpen-cerpen Sunaryo Broto. Meski cara berceritanya datar, tapi selalu saja ada titik-titik yang membuat kita sebagai pembaca merasa tersentuh dan tersentak. Sentuhan dan sentakan itu bisa berasal dari tampilnya beragam karakter manusia dan cerita yang mengelilinginya. Dalam “Pada Sebuah Buku, Pada Seorang Kawan”, misalnya, kita tersentuh oleh cerita nostalgia zaman menjadi mahasiswa dalam keadaan keterbatasan fasilitas dan finansial. Sentuhan itu dipertajam dengan hadirnya tokoh Joko yang sampai sekarang pun masih hidup dalam keterjepitan ekonomi. Cerpen “Doa Ibu”, kita bisa digoda untuk teringat pada ibu kita masing-masing dengan berbagai cerita nostalgia yang kita alami. Romantisme keluarga dengan menampilkan indahnya kehidupan “berselara masa lalu” ini juga terulang setidaknya dalam cerpen “Mudik Lebaran” dan “Keringat Lelaki Tua”. Di cerpen “Doa Ibu”, selain dibawa bernostalgia kita juga diajak berdiskusi tentang kearifan kultural, semisal pada kasus tokoh “Ibu” dan beberapa tokoh lain yang memegang teguh tradisi. Tokoh “Aku” sebagai wakil anak muda atau generasi modern yang tidak percaya pada mistisisme generasi lama ternyata tetap tak bisa lari darinya dan ketika ingin mendobrak ia mengalami kegagalan. Cerpen “Galeri Librari Nurseri” menampilkan kisah kehidupan orang tua yang bahagia dengan masa tuanya. Dari sini kita tergoda untuk gemas pada kehidupan kemanusiaan kita. Kenapa tidak semua bisa memiliki jalan hidup yang lurus-lurus seperti itu? Kenapa harus ada cerita sedih? Kenapa harus ada yang hidupnya dibayang-bayangi oleh was-was, ketegangan, dan pertikaian? “Bagaimana Rasanya Dicium Artis Setenar Desi Ratnasari?” dengan bahasa yang tidak langsung telah mengkritik fenomena lunturnya penghargaan keperempuanan. Para perempuan telah melucuti perhiasan yang secara sakral tersemat dalam dirinya dan melakukan desakralisasi. Tokoh “Anton” tak siap menerima kenyataan bahwa “Sri Lestari” yang dulu lugu itu kini terbiasa berciuman dengan lelaki. “Kurban Sapi” membuat kita terhenyak dan tersadar bahwa seringkali justru orang-orang dari kalangan bawah atau miskin lebih memiliki keikhlashan dalam bekerja untuk kemanusiaan dan ghirah dalam menjalankan ajaran agama. Perihal orang miskin dan terpinggirkan ini, dalam konteks diskusi yang berbeda, juga muncul dalam “Puisi Guru dan Sekolah Laut” dan “Cerita Sendu dari Marangkayu”. “Sepasang Sandal Tertinggal di Masjid Nan Dou Ya” sangat menarik. Beberapa hal menggelitik kita; tentang kesahajaan hidup, barang-barang mewah yang justru membelenggu pemiliknya, kejujuran manusia, serta keragaman budaya. Persoalan keragaman budaya juga sedikit tersinggung dalam “Pesan Rindu dari Kathmandu”. Cerpen ini juga menghadirkan tema romantik dan kita menjadi trenyuh menyaksikan ketegaran perempuan yang mengalami loneliness hidup sebagai janda di negeri orang. Dari luar dia tampak sebagai aktivis yang energik, tapi di sebalik itu adalah kesunyian dan getir.