Arinda Shafa
E-Mail: arindashafa[aT]yahoo.com
Arinda Shafa adalah nama pena dari Arinda Sari. Penulis lahir di Ambarawa, 27 Juli. Karyanya terselip dalam 78 antologi yang telah terbit. Buku terbit: Colekan Lembut Sang Bidadari (Pustaka Nusantara), Me vs Senior Dodol (Pustaka Jingga), dan Kupu-Kupu Ungu (Leutikaprio), Meretas Bianglala (Leutikaprio). Prestasi yang diraih adalah pemenang Favorit Lomba Membuat Buku Sendiri se-Kabupaten Semarang, nominator terbaik lomba menulis cerita mini PPI Yaman, juara 1 lomba menulis cerpen budaya JPIN, pemenang favorit Cerita Bunda Frisian Flag, nominator lomba Nusantara Bertutur, juara 1 lomba menulis cerpen ultah leutikaprio, juara 1 lomba menulis cerpen Metamorfiction Leutikaprio, dan beberapa kali memenangkan lomba menulis di dunia maya. Tengah memperjuangkan mimpi untuk menjadi penulis yang istiqomah dalam menulis dan punya rumah baca. Bergiat di Komunitas Penulis Ambarawa dan Ibu-Ibu Doyan Nulis Semarang. Komunikasi via email: arindashafa@yahoo.com. Fb : Arinda Shafa. Twitter: @arindashafa.Daftar Buku
Jumlah buku:21. Meretas Bianglala
Kujejak tanah lapang dengan kaki telanjang. Tanah tempat anak-anak sebayaku bermain, berlarian dan menarik ulur benang lelayang. Mencoba berpijak pada rerumput hijau yang teramat geli tersentuh telapak kaki. Aku seperti bayi yang belajar berjalan. Lututku gemetar. Kupejamkan mata agar lebih siaga saat jatuh nanti. Pelan, Nadia, menopang pundakku dengan kedua tangannya. Ini percoban paling mustahil nan konyol. Aku si lumpuh yang bertahun-tahun berkawan akrab dengan kursi roda. Bagaimana bisa? Aku akan terbang memetik bintang. Aku mau melaju bersama kupu-kupu. Aku ingin menyanyi bersama gemuwang kumbang. Berputar, menari, dan tertawa. Dalam segala keterbatasan. Dalam lekap kepedihan, Tuhan selalu memelukku. Merenjiskan cinta untukku, Nadia, serta anak-anak kurang beruntung di dunia ini untuk meretas bianglala di hati masing-masing.
Kujejak tanah lapang dengan kaki telanjang. Tanah tempat anak-anak sebayaku bermain, berlarian dan menarik ulur benang lelayang. Mencoba berpijak pada rerumput hijau yang teramat geli tersentuh telapak kaki. Aku seperti bayi yang belajar berjalan. Lututku gemetar. Kupejamkan mata agar lebih siaga saat jatuh nanti. Pelan, Nadia, menopang pundakku dengan kedua tangannya. Ini percoban paling mustahil nan konyol. Aku si lumpuh yang bertahun-tahun berkawan akrab dengan kursi roda. Bagaimana bisa? Aku akan terbang memetik bintang. Aku mau melaju bersama kupu-kupu. Aku ingin menyanyi bersama gemuwang kumbang. Berputar, menari, dan tertawa. Dalam segala keterbatasan. Dalam lekap kepedihan, Tuhan selalu memelukku. Merenjiskan cinta untukku, Nadia, serta anak-anak kurang beruntung di dunia ini untuk meretas bianglala di hati masing-masing.
2. Kupu-Kupu Ungu
Kupu-kupu ungu Kepakkan sayap rapuh repih Dari hiruk-pikuk dunia ia tersisih hidup tertatih dalam langkah-langkah setapak penuh belukar hujan caci, derai maki, lemparan cerca, cibiran kasar melebamkan jiwa menggelepar dalam jerat keputusasaan kupu-kupu ungu terbang rendah namun enggan singgah pada tempat asing yang melambai rayu menyuguh raut wajah keramah-tamahan sesungguhnya, makin ramah senyumnya makinlah busuk hatinya
Kupu-kupu ungu Kepakkan sayap rapuh repih Dari hiruk-pikuk dunia ia tersisih hidup tertatih dalam langkah-langkah setapak penuh belukar hujan caci, derai maki, lemparan cerca, cibiran kasar melebamkan jiwa menggelepar dalam jerat keputusasaan kupu-kupu ungu terbang rendah namun enggan singgah pada tempat asing yang melambai rayu menyuguh raut wajah keramah-tamahan sesungguhnya, makin ramah senyumnya makinlah busuk hatinya