Selepas Madrasah Aliyah, Nisa terpaksa menikah dengan Gus Hamid, pria tua yang sebaya dengan Abi-nya. Pernikahan ini untuk menyelamatkan rumah tangga Gus Hamid dan istrinya dari belenggu rumah tangga tanpa kehadiran anak di dalamnya. Meski Nisa ragu untuk menjadi istri kedua, Mahfud (Abi-nya) bercerita pernah menjalani rumah tangga dengan dua isteri (poligami). Buktinya, mereka bahagia. Bahkan, Nisa meneladani rumah tangga Nabi Ibrahim dengan Siti Sarah dan Siti Hajar, yang keduanya telah melahirkan para nabi, yaitu Nabi Ismail dan Nabi Ishaq.

Ternyata pahit yang Nisa dapat, Nisa difitnah Ning Millah, isteri pertama Gus Hamid. Nisa diceraikan Gus Hamid. Akhirnya, Nisa menjanda selama tiga tahun untuk menyelesaikan studinya. Akhir cerita, Nisa menikah lagi dengan Ridho, mantan teman Madrasah Aliyah dulu. Ia bahagia dengan rumah tangga model monogami.

Sementara di sisi lain, ada Imah, teman karib Nisa di Madrasah dulu.  Imah pun bahagia berumah tangga dengan suaminya, Pras. Padahal, Pras mempunyai isteri kedua selain Imah, yaitu Alifia. Pras, Imah, dan Alifia bahagia dalam rumah tangga model poligami. Sebab, dasar mereka berpoligami adalah karena kedaruratan umat yang dibenarkan syar’i dan dalam rangka turut serta memberikan solusi sosial di masyarakat.  Keikhlasan Imah dan Alifia dapat mengeleminasi kecemburuan yang ada.

Meski di sisi lain lagi, ada rumah tangga Saputra ataupun Dhani. Pola monogami yang dipakai, tapi mereka tak bahagia. Bahkan perselingkuhan dan praktik prostitusi dijadikan kompensasi bagi Saputra ataupun Dhani untuk mencari kepuasan diri. Na’udzubillaahi mindzalik!

Terbukti, siapa saja bisa bahagia dalam berumah tangga, baik itu model monogami atau poligami. Asal semua dilakukan dengan dasar syar’i, bukan karena nafsu semata