Aku bertemu dengannya sewaktu kuliah. Dia masih sangat kecil ketika tanpa sengaja aku sapa di rental samping rumah itu. Dulu, sebelum kami bertemu di sana, aku sudah mengamatinya dari balik jendela rumah Eza. Gerak-geriknya yang terlalu energik terlalu menarik untuk membuat tatap mataku mengalihkan pandangan. Bagiku dia bukan sekadar anak perempuan kecil, tapi dia justru menjadi malaikat mungil. Sebab, mengikuti setiap geraknya seperti menemukan oase di padang gersang.

Entah sejak kapan aku mulai tak pernah berhenti untuk mengikuti segala hal tentangnya. Tentang perjalanan hidupnya yang tak seindah mereka, tentang senyum pengusir sepinya yang tak seorang pun tahu, dan tentang cinta yang selalu dia rindukan tanpa ada jeda. Lagi… lagi… segala hal tentangnya menjadi sangat menarik meski aku tak perlu mengatakan bahwa ada yang tiba-tiba saja terpaut di sana. Tertinggal di sebuah tempat dan cukup aku saja yang mengerti.

Kehadirannya yang bak malaikat sungguh mangagumkan. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja, aku sanggup merindu hingga dasar jiwa. Bagaimana mungkin dia bisa membuat imajinasiku begitu mengkhayalkannya? Padahal aku masih bersama seorang dewi yang telah rela mengorbankan dirinya untuk aku kasihi? Apakah keanggunan seorang dewi tak ada artinya bila disejajarkan dengan pesona malaikat langit yang seenaknya muncul tanpa pernah diundang?

Rasanya ingin peri melupakan kehadirannya, tapi virus apa yang telah dia infeksikan ke aliran darahku hingga tanpa pernah aku tahu hanya sakit yang tertinggal setiap kali tiada berita tentangnya. Aku tak pernah mengatakan bahwa aku mencintainya, namun di antara jeda yang ada dan pada setiap koma bagian kecil batinku sanggup berteriak-teriak merinduinya.