Seorang gadis manis dengan rambut cokelat tua yang berkilau, duduk di depan cermin, menyematkan hiasan pada kain putih yang merupakan bagian dari gaun pengantinnya. Ia mengukirkan senyum di wajahnya, melihat pantulannya di cermin, dan senyumnya serta-merta menghilang. Ia menarik napas panjang, menggeleng-geleng. 

    

Pernikahan ini, akan menuju kehancuran! Apa sebenarnya yang aku inginkan? Seluruh milik, harta, dan tanah yang sebenarnya bukan milikku? 

 

“Tidak… aku tidak salah. Aku mengambil keputusan yang tepat….” Ia berkata pada pantulannya di cermin. “Aku sudah cukup menderita. Perang sudah selesai dan hidupmu yang dulu, yang hancur bersama perang terkutuk itu pun telah selesai. Sekarang kau harus hidup bahagia.” Perlahan, air mata mengalir turun di pipinya. 

 

Tiba-tiba pintu diketuk, dan seorang pemuda berkulit gelap masuk, membawa buket bunga yang indah. “Ah, Nona… jangan menangis. Air mata di hari pernikahan akan membawa kepedihan di hari mendatang. Tersenyumlah, Nona, tersenyumlah.” 

 

Seorang pemuda yang gagah, berlari masuk, terengah-engah. Ia terus berlari melewati ruang tamu, ruang makan, dan akhirnya tiba di pintu kamar yang buka lebar. Pemandangan yang terhampar di depannya membuatnya terperangah. Di lantai, terbaring sang calon pengantin wanita, dengan gaun putih, yang kini penuh bercak darah. Buket bunganya hancur dan bunga-bunga mawar putih berserakan di sekeliling mayat itu. Di sebelahnya, tergeletak sehelai kertas bertuliskan kata-kata Revenge Is Sweet.