“Orang-orang selalu bilang tidak ada cinta yang sempurna, Zafran! Itu karena mereka belum bertemu denganmu.” Dalam pelukan Halimah yang tersungkur di lantai, surat-surat itu dikaitkan erat di dadanya. Istigfar menyelinap, puji-pujian digantungkan, diangkatnya tangan menengadahkan doa, dalam doa ia tenggelam merapal permohonan.

 

“Ya Rabb, maha membolak balikan hati,Ya Allah, Jika telah engkau tetapkan hamba ditempat ini, menjawab doanya, maka hari ini pun akan selesai penantiannya, karena Engkau tidak akan menempatkan hamba-Mu di sini, jika Engkau tidak menginginkan takdir-Mu terjadi.” 

 

***

 

Hanya sebagai kisah cinta saja, novel Penantian itu menyentuh hati. Kisah cintanya penuh dinamika, meliuk-liuk dan berliku. Apalagi ditambah setting sejarah konflik pemahaman Syiah versus Sunni. Novel iniasyik sekali jika suatu ketika dipindahkan menjadi film layar lebar.

—Denny JA, Ph.D

(pencetus genre sastra baru puisi esai, dinobatkan masuk dalam ’33 sastrawan paling berpengaruh di Indonesia’)

 

Tak banyak novel Indonesia yang mengangkat kisah-kisah dari kelompok minoritas—apalagi yang mengalami represi mayoritas. Novel yang ditulis Maria Qistina ini menambah daftar pendek novel-novel bertema perjuangan kaum minirotas tersebut. Secara cerdas Maria Qistina meramu novel ini dengan kisah cinta yang dibumbui aktivisme, membuat ketegangan diskusi-diskusi berat mengenai toleransi, pluralisme, diskriminasi, politik identitas dan lainnya yang bertebaran di hampir seluruh bab novel ini menjadi tidak terasa membosankan untuk dibaca. Di luar keberanian penulisnya mengangkat tema yang jarang dituliskan—karena memiliki potensi kontroversi, novel ini menyajikan kompleksitas cerita yang meliuk-liuk dengan konflik yang menguras emosi. 

—Fahd Pahdepie

(CEO Inspirasi.co / Penulis novel best seller angan senja senyum pagi)