Kategori Kumpulan Puisi
Buku antologi "jemari 7 penyair" ini adalah ambisi kami yang tertunda kurang lebih satu tahun. Semoga sumbangsih kami yang tidak seberapa ini, mampu memberi warna bagi perkembangan sastra, khususnya penulisan puisi, di Tanah Air tercinta ini.
Buku Kumpulan Puisi 'Musim Mengenang Ibu' ini berisi ratusan puisi Dodi Prananda yang ditulis sepanjang tahun 2008 hingga tahun 2011. Beberapa puisi yang terhimpun dalam buku ini telah dimuat di media cetak. Puisi-puisi dalam buku ini banyak bercerita tentang kecintaan seorang anak pada Ibu dan Ayah; sebab sosok Ibu dan Ayah kerap menjadi inspirasi bagi Dodi dalam menulis. Hal lainnya yang juga diangkat dalam puisi-puisi di buku ini adalah tentang kehidupan Kota Jakarta dan sebagian lagi tentang lingkungan, memoar sahabat dan kerabat, serta cinta. Selain juga pernah dimuat di media, beberapa puisi lain juga pernah meraih sejumlah penghargaan dalam kompetisi puisi baik di level provinsi dan nasional.
Buku ini menarik, dapat memberikan pencerahan bagi setiap pembaca. Buku ini mewakili jati diri pembaca, sebab mengisahkan tentang kehidupan, alam, cinta, pengkhianatan, pemberontakan, kemunafikan dan ketaqwaan hingga kematian.
Kisah tentang kehidupan, romantika cinta dengan suka duka dan peristiwa tragisnya. Pengalaman spiritual, juga menyajikan cerita sebuah bangsa besar yang dipimpin oleh pemimpin berotak mesum, serta kasus-kasus mega korupsi yang tak terselesaikan.
September ini,
Aku mengeluh
Bahwa kau adalah pelangi
Tapi tak bisa kupandangi
Bahwa kau rasa
Tapi tak bisa kunikmati
Bahwa kau
Penggenapan kata atas kalimat yang tak terungkap
Penyempitan rasa atas asa yang tak tersampaikan
Antologi Cantik Poem Village ini adalah kumpulan pusi dari warga WR Puisi, sebuah grup belajar dan menulis puisi yang termasuk bagian dari Writing Revolution.
Melalui sebaris kata, aku ungkapkan sebuah rasa. Kukirim melalui hembusan angin malam. Sebait syair penuh duka
Hanya sebait puisi.
Pekik merdeka, hanya lesap nan lekas memuai jika itu cuma lolongan sejengkal dari tenggorokan, sebatas getaran pita suara.
Cobalah maknai setiap mutiara yang hadir dari relung hati mereka, percayalah walau hadir dari berbagai muara ternyata setiap maknanya adalah sebuah keindahan, kedamaian yang akan membawa kembali berkaca pada berbagai peristiwa sepanjang zaman.
Ternyata cinta merupakan sebuah kemayaan namun sangat mudah dirasakan, sesuatu yang indah namun tak sedikit orang dapat menangis karenanya. Cinta adalah sebuah anugrah dari Sang Khaliq, dan kita mesti mensyukurinya.
Esok,
aku minta sebuah tinta,
tinta terakhir yang akan kugores dengan cinta
yang akan ku bingkai dengan sejuta pesona,
berjuta makna...
Buku kumpulan cerita pendek ini berisi sepuluh cerita pendek dari lima penulis anggota FLP Blora. Setiap penulis membawa tema yang beragam dengan nuansa Islami dan bahasanya dikemas dengan santai.
Setiap manusia pasti memiliki kepingan-kepingan mozaik dalam hidupnya. Maka temukan dan susunlah kepingan-kepingan itu. Memang tak semuanya indah. Namun kita harus tahan melihat ulat jika kita ingin melihat kupu-kupu.
Telah kulewati 100 mimpi denganmu
Dipenuhi sajak bintang, terang indah dan damai
Tapi kau tak menyapaku
Ada apa gerangan?
Wajahmu ditekuk terbuai lamunan
Ah… seberapa menganga lukamu
Hingga tawa pun sirna
Tahukah kamu kawan,
Betapa hati ini sunyi tanpa kalian
Masa indah saat bersama kalian
Saat suka duka melebur dalam kehangatan
Kehangatan cinta kasih bersama kalian
Akankah hal itu kan terulang?
Ah, aku terbuai
Terjatuh pada empuk rerumputan yang melambai tanpa lunglai
Dihiasi aneka warna dan ragam bunga yang menawarkan semerbaknya
Mewangi cinta menyeruak merasuk sukma
Indah…
Nikmat-Nya yang mana lagi yang pantas kudustakan?
Sembilan puluh sembilan sajak dalam buku ini adalah sejumlah sajak yang terkumpul sebagai usaha pendokumenta¬sian, ditulis antara 1987—2000. Tidak ada kriteria pemilihan maupun penggolongan yang dipergunakan. Sajak-sajak ini merupakan semacam catatan harian, semacam catatan impresionistik terhadap suasana, peristiwa, atau pemikiran yang kebetulan berkelebat dan tertangkap pena untuk dituangkan menjadi sajak. Ada jarak waktu antara penulisan sajak-sajak tersebut dengan penerbit¬annya.
Masing-masing punya proses kelahirannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu benang merah pun yang dapat dijadikan pegangan untuk menghimpun sajak-sajak ini ke dalam antologi yang diberi judul Dari Sebuah Senja. Pemberian judul semacam ini hanya sebatas kemunculan yang relatif berulang dalam beberapa sajak. Senja bisa jadi hanya sebuah kenangan atau mungkin sebuah obsesi yang menarik untuk ditangkap dalam sebuah potretan impresi puitis.
Satu hal yang kamu perlu lakukan adalah membalikkan kertas ini ke lembar selanjutnya. Itu saja. Buku ini akan membawa kamu untuk terus membalikkan lembar demi lembar, hingga kamu semua menyadari bahwa di balik lembar selanjutnya itu sudah sampul buku ini sendiri.
Sama seperti hidup ini, kita terus membalikkan lembar hari-hari kita, hingga tanpa sadar kita sudah mencapai lembar akhir dan menemukan sampul hidup itu sendiri. Harus kembali ke awal, kembali seperti semula.
Seperti apa
Rindumu berjalan di atas air pagi ini
Bersama tanah yang kerap kau pijak
Setelahnya….
Kumpulan puisi dari 2001 sampai 2011, yang disunting dari berbagai kumpulan puisi yang selama ini terbit. Baik kumpulan puisi tunggal maupun kumpulan puisi bersama.
***
Ratna Ayu Budhiarti menulis puisi dengan segar dan enak dibaca. Hal ini bukan hanya berlaku buat puisinya yang naratif, namun juga puisinya liris. Kesegaran ini, saya kira, muncul dari sikap kepenyairannya yang riang dan gembira. Misalnya dengan enak ia menggunakan bahasa sehari-hari untuk puisinya, dengan enak pula mengangkat penggalan cerita dari film, novel, lagu atau apapun sebagai ide. Tentu saja semua ini dilakukan dengan kreativitas serta intensitas yang terjaga. Buktinya, dengan menggunakan bahasa yang rileks dan komunikatif ini tidak membuat puisinya menjadi kehilangan kedalaman atau daya tenung.
(Acep Zamzam Noor, penyair)
***
Ratna terus mengembangkan dirinya jadi penyair, dan ia tidak main-main dengan apa yang ditulisnya itu.
(Soni Farid Maulana, penyair, esais)
Sebuah antalogi yang berisi perenungan-perenungan dalam bentuk puisi dari kehidupan penulis dan sekitarnya.
Membaca puisi-puisi di sini seperti mengarungi panorama penuh bukit batu. Ada jejak goresan luka pejalan yang terekam, dan dikirimkan dalam gaung rintih dan asa. Citraan kesendirian memantulkan pendar-pendar pertanyaan kepada pembaca tentang bagaimana hakikat napas dan kehidupan. Dengan gaya ungkapnya, torehan kata yang terhampar memberikan keindahan tersendiri, yang memang sering menjadi sangat subyektif, sebagaimana perasaan itu sendiri. Sebagai penyair muda, Fiyan Arjun (dan semua penyair) tentunya akan memasuki beragam suasana, yang menurut saya akan lebih baik jika berasumsi bahwa setiap puisi yang tercipta barulah merupakan awal dari sebuah pencarian. Penanaman anggapan seperti ini akan menantang penyair untuk memasuki alam petualangan karya yang lebih dalam, sarat nuansa berbeda dan baru, serta lebih mendebarkan, sehingga akan membantu terjaganya sebuah proses kreatif yang berkelanjutan.
(Budhi Setyawan, Penyair)