Kenali dan Cintai Tokoh Fiksimu!
Posted: 01-02-2012 12:50Sender: Suyatna Pamungkas
Oleh: Suyatna Pamungkas
Salah satu unsur intrinsik cerita rekaan adalah tokoh, tentu keberadaan unsur ini tidak dapat tidak dihilangkan. Harus ada. Ibarat pewayangan, tokoh ini adalah wayangnya dan dalang adalah penceritanya. Ibarat perusahaan, tokoh tokoh ini adalah karyawan dan manajernya adalah penulis. Tokoh-tokoh bergerak atas kendali penulis, membangun kesatuan cerita yang utuh bersama unsur intriksik lainnya.
Meski hanya satu unsur, namun jangan salah, unsur ini selain memang harus ada, keberadaannya juga ikut menunjang terhadap keberhasilan penulisan cerita secara keseluruhan. Sebab, baik buruknya cerita ternyata juga sangat dipengaruhi pemunculan tokoh. Cerita yang baik adalah yang mampu menghadirkan tokoh yang kuat dalam karakter dan dengan mudah dibedakan antar-tokoh yang ada dalam cerita. Adalah “kegagalan” ketika penulis tidak berhasil menuliskan tokoh yang berbeda, artinya, tidak ada kecirian khusus pada satu tokoh dan cenderung sama tindak-tanduk dan karakteristik tokoh-tokoh di dalamnya.
Benar sekali. Tokoh akan memberi impak yang luar biasa kepada pembaca. Meski komunikasi yang terjalin antara penulis dan pembaca, satu arah. Namun penulis seringkali banyak mempengaruhi pembaca, salah satunya dari pencinptaan karakter tokoh. Saat saya kecil, menonton Power Rangers, saya mendadak ingin menjadi Rangers Putih. Saat membaca komik Detektif Kindaichi, mendadak ingin seperti detektif. Dan hebatnya, secara sadar atau tidak, bahkan tindakan dan pola pikir saya terpengaruhi. Bertindak seperti tokoh-tokoh idola saya.
Sebutlah setelah membaca Ketika Cinta Bertasbih, ada kecenderungan pembaca laki-laki ingin menjadi pribadi Azam yang tegar, dewasa, idealis, dan tentu saja religius. Atau para pembaca dari mereka kalangan wanita, setelah membaca Ketika Cinta Bertasbih maka ada kecenderungan ingin meniru seperti Anna Althafunisa atau pribadi menarik lainnya.
Oleh karena itu kita perlu membangun tokoh, menjadikannya karakter yang patut dipelajari oleh pembaca. Baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis idealnya kita ciptakan dengan kematangan, sehingga pembaca bukan hanya mengidolakan tokoh protagonist namun juga bisa belajar banyak dari tokoh antagonis. Ya, kita harus membangun tokoh itu menjadi karakter yang kuat. Nah, untuk membangun tokoh dengan kuat, maka ada hal yang perlu diperhatikan seperti saya rangkum dalam poin-poin berikut.
Unsur dasar identitas tokoh fiksi:
1. PROFESI
- Apakah guru, dosen, pengacara, dokter, pilot, model, artis, wartawan, gubernur, walikota, PSK, ulama, tokoh masyarakat, dan seterusnya.
2. PENDIDIKAN
- Tidak berpendidikan
- Berpendidikan: SD, SMP, SMA, Sarjana, Pascasarjana, Doktor, Profesor.
3. USIA
- Anak anak
- Remaja
- Dewasa
- Tua
4. HOBI
- Apakah tokohmu hobi membaca?
- Koleksi perangko?
- Nyanyi?
- Travelling?
- Dan seterusnya.
5. ORANG-ORANG TERDEKAT
- Keluarga
- Guru
- Pacar
- Sahabat
- Rekan Kerja
- Dan yang lainnya.
6. PRINSIP HIDUP atau IDEOLOGI
- Nasionalis
- Agamis
- Sosialis
- Atheis
- Dan seterusnya.
7. KARAKTER KHAS
- Aksen bicara misalnya idiolek seperti Cinta Laura, “hujan, ga ada ojek, becek”.
- Ciri kebiasaan, misalnya seperti tokoh Mahar dalam Laskar Pelangi yang selalu membawa radio ke mana-manapun pergi.
- Fisik yang abnormal, seperti tokoh Harun atau Jimbron. Tokoh ini untuk penyeimbang kehadiran tokoh-tokoh sentral.
- Cara berjalan, cara menyapa, dan seterusnya.
- Mencintai binatang khusus, benda khusus, dst.
8. CIRI FISIK
- Tinggi dan berat badan
- Bentuk rambut
- Bentuk wajah
- Warna kulit
- Ciri khusus: berkacamata, bertopi,
-
9. TIPE KEPRIBADIAN:
- Melankolis
- Plaghmetis
- Koleris
- Sanguin
10. HUBUNGAN DENGAN LINGKUNGAN
- Terbuka dan mudah bergaul
- Tertutup dan tidak suka bergaul
Barangkali masih ada kategori pencirian model lain. Silakan saja. Yang ingin saya tekankan adalah: kenali tokohmu. Dan penjabaran mengenai poin-poin di atas, dibahas di pertemuan lain)
Terkait dengan membagun karakter tokoh dengan kuat, kita tidak dapat dilepaskan dari yang namanya riset. Iseng, saya sudah melakukan polling mengenai tokoh fiksi yang dipilih oleh penulis, dengan pertanyaan dasar seperti ini: “Saya ingin bertanya: untuk tokoh protagonis, IWU Addict lebih suka pakai perempuan atau laki-laki? (di luar pembahasan genre tulisan, gender dan bias gender, atau sentimen pribadi) so, di jawab ya, Suka: perempuan, atau laki-laki.”
1. Tokoh peremuan: total 17 suara
Penulis laki yang memilih: 3 suara
Penulis peremp yang memilih: 14 suara
2. Tokoh laki-laki: total 6 suara
Penulis laki yang memilih: 2 suara
Penulis perempuan yang memilih: 4 suara
3. Tak terpikir: 3 suara (tak peduli dan tak memikirkan tokoh protagonist perempuan atau laki-laki)
Penulis laki yang memilih: 1 suara
Penulis perempuan yang memilih: 2 suara
Dalam survey ini, iseng saya mencomot komentar para pemberi suara, antara lain:
Hermawan W Saputra mengatakan, “Kalau aku jujur lebih mudah nulis yang tokohnya perempuan. Karena harus observasi dan interview dulu ama teman-teman yang perempuan/akhwat, meski paling tidak via SMS/FB. Jadi terasa ada perjuanganya gitu.” (tipe mau ribet)
Ayuni Adesty mengatakan, “Kalo mau pakai tokoh protagonis laki-laki harus banyak observasi, jadi aku pilih perempuan aja.” (tipe ogah ribet)
Dari polling ini, saya hanya ingin menunjukkan, ada penulis yang benar-benar ingin menguatkan karakter para tokohnya. Penulis ini saya sebut mencintai tokohnya. Hermawan mau “ribet” mengadakan riset (sesederhana apapun riset, itu sangat berguna dan penting) guna menciptakan tokoh protagonist perempuan. Mengingat karakter tokoh perempuan tidak dijumpai dalam kepribadiannya. Lain lagi dengan Ayuni yang tidak ingin “ribet” dengan memilih laki-laki, yang notabene tidak dikenali dalam pribadinya, mengingat dirinya adalah perempuan.
Survei sederhana ini sengaja saya lakukan guna membuka mindset baru Kawan semua, bahwa sesederhana apapun tokoh yang kita ciptakan hendaklah kita mengenali dan mencintai tokoh tersebut. Kenalilah mulai dari ciri fisik, kebiasaan, pandangan hidup, sampai cara pergaulan di masyarakat. Pelukisan karakter tokoh yang kuat akan membawa cerita menjadi lebih power. Tentu masih ingat sebuah acara televise Si Doel Anak Sekolahan? Hingga kini, Rano Karno masih sering “ditempeli” nama Si Doel. Ini luar biasa. Saya juga sempat terheran ketika saya menonton sinetron dengan bintang Primus Yustistio bersama ponakan saya yang masih kecil, dan saya tanyakan padanya siapa dia (siapa Primus) jawabannya adalah “Itu kan Manusia Milenium, Om” Ini luar biasa. Bagaimana kuatnya karakter tokoh yang dibangun oleh penulis sehingga si anak kecil ini sampai hafal dan melabeli Primus Yustistio dengan Panji Manusia Milenium (bagi yang belum maksud, saya beri tahu bahwa sebuah serial televise pernah menampilkan Primus Yustistio sebagai pemeran utama dengan nama Panji Manusia Milenium).
Di situlah keberhasilan penulis, saat karakter tokohnya bisa melekat kepada pembaca, bahkan bisa menginspirasi. Sebagaimana Romeo dan Juliet masih “ada” hingga tahun 2012 ini, sebagaimana keabadian itu, mari, mari kita ciptakan tokoh yang benar-benar memiliki karakter yang kuat sehinggalah bisa melegenda bahkan tak lekang oleh waktu dan gereasi.
Sebagai latihan saja, berikut ini saya contoh bagaimana penulis-penulis “menyempurnakan” kehadiran tokohnya dalam cerita yang ditulis. Berikut ini adalah petikan novel Andrea Hirata yang saya cermati, dan patut untuk kita pelajari bersama, bagaimana memunculkan dan menguatkan karakter tokoh dalam suatu cerita. Melalui deskripsinya, Andrea Hirata melukiskan tokoh Arai dari ciri fisik, background keluarga, dan ciri khas atau kekhususan tertentu. Dan tentunya, Andrea memperkuat karakter ini di deskripsi atau dialog berikutnya. Berikut ini adalah salah satu cara saja.
Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral. Dan jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera. Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silicon dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada falseto—mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak ibu. Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami. (Andrea Hirata, dalam Sang Pemimpi)
Dengan gaya bahasa yang lain, saya mendeskripsikan tokoh begini:
Kalau ada orang yang menyimpulkan Sidney anak yang broken home, benar memang, itu bisa dibenarkan. Secara ayah-ibunya jelas terpisah, ibunya ke Jakarta ayah ke Surabaya, sedang kakaknya demikian juga jauh di negeri Belanda. Sidney. Sejak kecil ia tak ingin pindah dari janabijananya, Banyumas. Ia asing terhadap ibukota, juga kota-kota kompetisi lainnya, ia tak suka. Hingga ibunya pindah ke Jakarta karena tuntutan bisnis pun Sidney tetap ditinggal di daerah, ikut sama om-nya. Dan meski anak titipan, namun si Om benar-benar merawat anak itu dengan penuh ketulusan, penuh kasih, dan sayang. Ia didik baik-baik anak itu seperti mendidik anaknya sendiri. Hingga sebuah masa menjemput anak itu, tak terasa ia telah tumbuh menjadi gadis remaja, tumbuh sebagai gadis rupawan.
Sidney. Sejak kecil suka menyendiri, bermonolog dalam sunyi perasingan. Ketika teman-temannya asyik bermain layang-layang, ia justru menyendiri di kebun-kebun demi menghirupi udara lereng gunung Slamet yang sejuk. Selalu mencangak mengamati bukit-bukit tangguh Baturaden yang disepuh halimun pagi. Selalu berlari-larian di antara tanaman kubis dan bawang. Bermain-main suara sipongang pada lembah. Berceria tawa ketika memanen buah klengkeng dan tomat bercahaya. Segalanya indah dirasakannya, segalanya damai dan sejuk, segalanya adalah mahakarya keindahan seakan dunia tak ada batas pandang indahnya.
Suatu hari, sebuah buku milik Om yang tergeletak mengenalkannya pada cerita di puncak Olympus. Ia merasa berada di sana, dan dewi yang mirip namanya, Dewi Athena, telah menginspirasinya. Masuk SMP Sidney semakin gandrung dengan cerita-cerita bumi Yunani. Dan bertemulah ia dengan Elko, seorang yang gemar cerita dari puncak Olympus juga. (Suyatna Pamungkas dalam novel Mengejar Mimpi)
Salam karya,
&
WITH LOVE
Suyatna Pamungkas (cerpenis, novelis, scriptwriter, CEO of Indonesian Writers University)