Penulisan Kreatif dari Sudut Pandang Pembaca
Posted: 06-08-2012 19:21Sender: Bintang Pradipta
Oleh: Bintang Pradipta - @bipradipta
“Censor the body and your censor breath and speech at the same time. Write yourself. Your body must be heard.” ― Hélène Cixous
Tips penulisan kreatif ini saya buat bukan dari sudut pandang seorang penulis, melainkan seorang pembaca, meskipun sebenarnya saya sudah dapat digolongkan menjadi penulis karena telah menerbitkan beberapa buku. Bukan tanpa alasan saya melakukan hal ini, karena pada akhirnya sebuah tulisan akan berakhir di tangan pembacanya. Pembaca yang akan memberikan poin penilaian, bukan penulis.
Dewasa ini, cukup banyak tips penulisan kreatif yang menganjurkan calon penulis untuk menuliskan apa saja yang mereka inginkan dan apa saja yang mereka pikirkan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena seorang penulis tentunya perlu mengingat di mana ia menulis, serta ditujukan untuk siapa. Menurut saya, menulis apa saja yang diinginkan dan apa saja yang dipikirkan hanya boleh dilakukan di atas lembar buku harian dan tidak perlu menjadi konsumsi publik. Pembaca membutuhkan bacaan yang lebih bermutu daripada apa saja yang penulis ingin tuliskan dan apa saja yang penulis pikirkan. Garis bawahi kata “apa saja”. Sah-sah saja menuliskan apa yang penulis inginkan dan pikirkan, tapi tanpa embel-embel “saja”, karena kata “saja” di dalam konteks ini bermakna “asal-asalan”. Penulis tentu tidak ingin mengecewakan pembacanya dengan tulisan yang asal-asalan.
Artinya, penulis harus memikirkan apa yang harus dia tulis untuk memuaskan para pembaca yang semakin hari semakin kritis dan haus akan ilmu dan pengetahuan yang baru, karena buku yang berisi “tulisan kosong” hanya akan berakhir di rak paling bawah para penikmat buku. Pembaca membutukan bacaan yang memberikan inspirasi bagi mereka dan membuka pandangan baru, karena dunia ini terdiri lebih dari satu sisi.
Sudah menjadi kewajiban penulis untuk mengabulkan keinginan para pembaca. Namun, tidak perlu salah langkah dengan menjadi penulis yang terlalu moralis dan memberikan “harapan palsu”, seperti kisah-kisah “inspiratif” yang hanya merupakan fakta dalam dunia fiksi. Terlalu banyak pesan moral justru membuat pembaca jengah.
Saya percaya bahwa tulisan adalah penyampai sebuah pesan dan ideologi. Maka, menulislah seberani Ayu Utami dan seliar Djenar Maesa Ayu, menulislah untuk suatu perubahan, bukan menuliskan pengulangan akan apa yang sudah diketahui para pembaca dari petuah-petuah semasa SD, seperti “mencuri itu dosa” dan “hemat pangkal kaya”. Menulislah untuk mengubah dunia, seperti yang telah dilakukan R.A. Kartini, karena hanya lewat tulisanlah penulis bisa berbicara.
Tulisan kreatif yang membawa suatu pesan dan ideologi juga harus dibarengi dengan cara penulisan yang menyenangkan, mengalir, tidak dibuat-buat, dan komunikatif. Tapi membahas itu tidak terlalu penting menurut saya, karena gaya kepenulisan ada di tangan penulis. Lagi pula, saya tidak ingin melanggar apa yang telah saya tuliskan di atas (tidak perlu mengulang apa yang sudah banyak dituliskan penulis lain), sebab kiat-kiat menulis dengan menyenangkan, mengalir, tidak dibuat-buat, dan komunikatif sudah menjamur di toko buku, blog para penulis terkenal, dan bahkan situs LeutikaPrio ini sendiri.
Akhir kata, ingat, takdir dunia ada di tangan penulis. Dan saya tidak sedang berhiperbola.